Operasional kantor : Senin - Jumat Pkl. 08.00 - 17.00 WIB, online Senin - Jumat 24 jam
Tanggal
05 07-19
31

Hate speech Dulu dan Kini, Serta Pengaruh Keberadaan Media Sosial

berita-1

Hate speech Dulu dan Kini, Serta Pengaruh Keberadaan Media Sosial

Kemajuan teknologi komunikasi semakin memberikan dampak signifikan pada kehidupan bermasyarakat. Jarak dan ruang yang dahulu menjadi penghambat utama dalam berkomunikasi, kini telah dipotong dengan keberadaan teknologi komunikasi. Penggunaan media sosial menjadi cara utama komunikasi yang dilakukan kebanyakan orang. Hal ini kemudian membawa berbagai dampak baik dan buruk, salah satunya berupa hate speech.

Kasus hate speech memang belakangan kerap menjadi sorotan media. Kata-kata atau tulisan yang dilontarkan pada media sosial tertentu biasanya menjadi bukti untuk melaporkan seseorang atas kasus ini. Memang sebenarnya hate speech sendiri bukan dikarenakan adanya media sosial, namun lebih kepada mentalitas sebagian kecil masyarakat yang belum dapat menghargai toleransi dan diskusi terbuka.

Sebelum membahas lebih jauh, sebenarnya apa yang dimaksud dengan hate speech itu sendiri? Frasa ini dapat diartikan sebagai ujaran kebencian atau tindakan komunikasi yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang yang mengakibatkan provokasi, penghinaan, hasutan dan fitnah terhadap pihak lain. Sebelum kehadiran media sosial, hal ini mungkin sudah terjadi, hanya saja tidak terlalu disorot karena terkadang kasus seperti ini sulit dibuktikan.

Kehadiran Media Sosial

Seiring kemajuan teknologi, kehadiran media sosial menjadi salah satu platform yang paling sering digunakan untuk melakukan hate speech. Sebelum adanya media sosial, hate speech dilakukan secara langsung dari orang satu ke orang lain atau dari kelompok yang satu ke kelompok yang lain. Dahulu hal ini jarang menjadi kasus karena seperti yang disebutkan tadi, bukti otentik sangat sulit didapatkan jika tidak ada sejumlah saksi mata yang mengalami kejadian tersebut.

Hate speech yang disampaikan melalui media sosial agaknya makin gencar karena beberapa hal. Pertama, media sosial merupakan platform yang bisa dengan bebas digunakan oleh siapapun, dengan maksud apapun. Setiap pesan yang disampaikan di sana benar-benar bebas. Meski terdapat filter tertentu, namun untuk menyaring konten bernuansa hate speech sangat sulit dilakukan.

Kedua, hate speech marak terjadi di media sosial karena faktor anonimitas. Jika hate speech dilakukan di dunia nyata, tentu akan mudah diketahui siapa yang melontarkannya pertama kali jika ada saksi mata atau laporan langsung. Identitas pelaku mudah diketahui karena pelaku adalah seseorang yang memiliki identitas.

Identitas di dunia maya, seperti kita ketahui bersama, merupakan identitas yang tidak pasti. Tidak sedikit akun media sosial yang digunakan tanpa menggunakan identitas asli. Hal ini menyulitkan ketika akan dilakukan pelacakan. Namun demikian buktinya lebih mudah didapatkan dengan cara screen shoot atau screen capture. Dengan alat bukti yang jelas, laporan bisa disusun. Sanksi paling awal adalah dengan pemblokiran akun yang melakukan tindakan tersebut.

Pada prakteknya, tidak sedikit pelaku hate speech yang bisa dilacak kemudian ditangkap oleh aparat penegak hukum. Hate speech sendiri dapat diproses secara hukum, dengan berdasarkan pada beberapa pasal yang berlaku.

Regulasi yang Berlaku untuk Hate speech

Setiap perilaku hate speech dapat dilaporkan ke pihak terkait sesuai peraturan yang berlaku. Misalnya saja untuk penghinaan terhadap seseorang, dapat digunakan yang tertera pada Buku I KUHP Bab XVI Pasal 310, Pasal 311, Pasal 315, Pasal 317 dan Pasal 318 KUHP. Tentu penerapan pasal ini memiliki konsekuensi hukum berupa ancaman pidana.

Jika hate speech dilakukan pada pemerintah, organisasi atau kelompok tertentu, pasal yang digunakan adalah Pasal 142 dan Pasal 143 KUHP (penghinaan terhadap kepala negara asing), Pasal  156 dan Pasal 157 (penghinaan pada golongan penduduk atau kelompok atau organisasi), Pasal 177 KUHP (penghinaan pada pegawai agama atau pemuka agama) dan Pasal 207 dan Pasal 208 KUHP (penghinaan pada kekuasaan yang ada di Indonesia).

Namun demikian, yang perlu diingat dari penggunaan pasal-pasal di atas adalah bahwa penghinaan hanya dapat dituntut jika ada pengaduan dari individu atau kelompok yang terkena dampak penghinaan. Artinya, tuntutan akan bernilai sah jika yang menuntut adalah pihak yang secara langsung merasa dirugikan. Ini yang terkadang menjadi sedikit bias di Indonesia.

Selain itu, tuntutan terkait hate speech juga sewajarnya disertai bukti yang mendukung sehingga memiliki dasar yang jelas. Sebagai pengetahuan umum, bahwa tuntutan tindak pidana sedikitnya harus disertai dengan dua alat bukti yang sah dan meyakinkan, agar dapat menjadi dasar yang jelas pada tuntutan tersebut.

Namun demikian, belakangan banyak terjadi tuntutan kasus hate speech yang dilakukan secara subjektif. Misalnya saja, tuntutan hate speech pada pelaku ujaran kebencian pada pemerintah, namun yang melaporkan bukan dari unsur pemerintah. Tentu ini sedikit berlawanan dengan yang seharusnya terjadi.

Untuk menghadapi fenomena hate speech sendiri, hendaknya kita sebagai manusia dan warga negara yang baik dapat mengontrol apapun yang disampaikan baik secara lisan maupun tertulis di berbagai kanal komunikasi. Selain untuk menunjukkan rasa saling menghargai, hal ini juga dapat menghindarkan kita semua dari tuntutan hate speech yang tidak jelas.

Artikel Media

Siaran Pers